Mengenai pergerakan BTC kali ini, kita harus kembali menengok ke buku ekonomi dan mengingat kasus-kasus kuno yang sudah usang.

Ingatkah gelombang inflasi setelah Perang Dunia II? Bank sentral mencetak uang secara gila-gilaan, harga-harga pun melambung tinggi. Lalu bagaimana mereka membersihkan kekacauan itu? Dengan memperketat neraca (mengurangi aset di neraca). Akibatnya, ekonomi langsung terpuruk. Saat mereka menyadari ada yang tidak beres, satu-satunya pilihan ya kembali—melanjutkan pencetakan uang. Operasi ini sudah menjadi bahan ajar klasik, hanya saja setiap generasi merasa mampu menghindari perangkapnya.

Sekarang tahun 2024, skenario hampir sama persis. Pengetatan fiskal, likuiditas pasar yang sudah ketat, beberapa bank sentral bahkan masih keras kepala mempertahankan kebijakan pengurangan neraca. Hasilnya? Tidak mampu bertahan, tiba-tiba mengumumkan perubahan arah ke pelonggaran neraca. Singkatnya, mereka dipukul keras oleh kenyataan dan harus mengalah.

Lebih ajaib lagi adalah para pelaku di Wall Street. Satu per satu berpenampilan rapi, berbicara tentang narasi ekonomi yang canggih, seolah semuanya berada dalam kendali. Tapi mesin cetak uang sudah berputar keras dari dulu, hanya saja semua orang berpura-pura tidak melihatnya.

Likuiditas yang kembali dilonggarkan, bagaimana reaksi aset kripto? Sejarah tidak akan sekadar meniru, tapi pola selalu mirip. ETH dan BTC, sebagai aset yang secara alami peka terhadap siklus likuiditas, saat kekuatan fiat melemah, dana pasti mencari tempat berlindung baru. Ini bukan ilmu gaib, melainkan pengetahuan ekonomi dasar.

Sepuluh tahun dari sekarang, ketika kita melihat kembali, semua keputusan ini akan tampak sangat konyol. Wall Street sekali lagi salah menebak arah. Logika utama dalam trading sebenarnya sangat sederhana—ikuti arah likuiditas, jangan tertipu oleh omongan indah yang memukau mata.