Dari kasus selebgram Taiwan yang berulang kali makan gratis di New York hingga akhirnya ditahan, mari kita bahas fenomena "kematian Amerika" di Xiaohongshu.

Seorang influencer Taiwan berusia 34 tahun, Zhong Peiyun (Pei Yun Chung), berulang kali makan tanpa membayar di restoran mewah New York dan akhirnya ditangkap polisi. Saat ini ia ditahan di penjara Rikers Island (sumber: World Journal). Rikers Island terletak di East River, New York City, Amerika Serikat, di antara Manhattan dan Queens. Ini adalah salah satu pusat penahanan terbesar di New York City, biasanya digunakan untuk menahan narapidana yang menunggu persidangan atau hukuman. Rikers Island sudah lama dikenal karena lingkungannya yang keras dan penuh kekerasan. Karena populasi penjara yang besar dan fasilitas yang sudah tua, para tahanan terpaksa ditempatkan di sel yang sempit, tidak hanya ruangannya kecil dan kondisi sanitasi buruk, tetapi juga sering terjadi kekerasan penjara. Penampilan influencer yang glamor di Instagram namun kini dipenjara dalam kondisi yang sangat buruk menyoroti kisah-kisah “kejatuhan kecantikan” yang aneh dalam beberapa tahun terakhir, di mana kehidupan para pencari trafik internet dan kecantikan plastik di media sosial ternyata tidak tahu apa-apa tentang kehidupan nyata.

Kasus ini menarik perhatian masyarakat, terutama karena mengungkap masalah serius dalam budaya platform media sosial saat ini, di mana sebagian influencer atau selebgram menggunakan pengaruh mereka sebagai alat tawar untuk menuntut layanan “gratis” dari pelaku usaha. Tindakan Zhong Peiyun bukan hanya kejahatan individu, tapi juga mencerminkan salah kaprah sebagian orang dalam budaya influencer terhadap konsep “gratis” atau “privilege”. Di balik budaya ini, juga terlihat bagaimana platform seperti Xiaohongshu (Little Red Book) menyebarkan budaya “kejatuhan kecantikan”, di mana penampilan glamor di media sosial, pengejaran buta terhadap operasi plastik, makeup, dan fashion, menyebabkan mentalitas materialistis, potensi penipuan online shop, dan masalah kesehatan mental remaja.

Kasus “makan gratis” Zhong Peiyun juga mengungkap masalah lain yang dihadapi banyak restoran, yaitu tuntutan influencer untuk makanan gratis dengan imbalan eksposur di media sosial. Praktik ini telah membentuk mentalitas kolektif: selama memiliki cukup banyak pengikut atau perhatian, maka pantas menerima imbalan di dunia nyata. Meski banyak pelaku usaha mulai mengenali dan mengantisipasi “tindakan penipuan” semacam ini, budaya sosial seperti ini tetap menyebar luas di kalangan anak muda.

Akar dari fenomena ini seringkali terkait dengan model operasional platform media sosial, di mana banyak influencer menarik penggemar dan pelaku usaha dengan konten yang dikurasi, membentuk ekosistem pengaruh virtual. Dalam ekosistem ini, jumlah penggemar berarti perhatian dan trafik, dan bahkan bisa menjadi alat tukar untuk “mendapatkan sumber daya gratis”. Baik restoran mewah maupun brand, banyak pelaku usaha seringkali tidak tahu harus berbuat apa ketika menghadapi permintaan semacam ini. Di balik budaya ini, platform seperti Xiaohongshu menciptakan atmosfer kolektif komunitas “kejatuhan kecantikan”, yang tidak hanya mengagungkan kecantikan luar dan trafik, tetapi juga menanamkan nilai cemas soal penampilan yang salah, membuat generasi muda percaya bahwa cukup mendapat perhatian di media sosial, maka bisa menikmati privilese yang tidak semestinya di dunia nyata. Xiaohongshu, sebagai platform berbagi gaya hidup dan konsumsi, memang menjadi salah satu tempat subur bagi budaya “kejatuhan kecantikan”, memperparah perilaku konsumtif dan menantang standar etika serta moral masyarakat.

Penyebaran Budaya Kejatuhan Kecantikan

Di platform seperti Xiaohongshu, banyak influencer dan selebgram mengejar eksposur dan pengaruh, bukan kualitas produk atau nilai layanan. Karakteristik platform ini mendorong sebagian selebgram untuk tidak lagi hanya berbagi kehidupan, tetapi menjadikan pengaruh mereka di media sosial sebagai alat tukar keuntungan nyata. Mentalitas ini tak hanya terlihat dalam “makan/minum gratis”, tetapi juga pada “uji coba gratis”, “perlakuan khusus”, dan lain sebagainya. Banyak influencer dan selebgram punya imajinasi yang tidak realistis tentang pengaruh mereka, merasa pelaku usaha harus memberikan produk atau layanan gratis demi eksposur.

Lebih parahnya, anak muda bisa salah paham bahwa punya banyak pengikut otomatis berarti berhak mendapat privilese dan gratisan. Baik restoran, hotel, maupun brand lain, para pelaku usaha sering kali tak berdaya di hadapan tuntutan seperti ini. Selain itu, sebagian influencer dan selebgram dalam kerja sama atau barter hanya mementingkan keuntungan sendiri dan mengabaikan kontribusi serta biaya pihak lain. Sikap ini membuat pelaku usaha berada dalam dilema saat menghadapi banyak permintaan tidak masuk akal. Mereka tak berani sepenuhnya menolak karena takut mendapat eksposur negatif; di sisi lain, mereka juga tak mungkin menanggung pertukaran yang tidak seimbang dalam jangka panjang, yang akhirnya bisa merusak citra dan keuntungan bisnis.

Pengaruh dan Risiko Xiaohongshu

Sejak berdiri, Xiaohongshu menekankan konsep “berbagi nyata” dan “gaya hidup”, dengan loyalitas pengguna tinggi dan model pemasaran konten yang apik, menjadi platform penting untuk pemasaran banyak brand. Namun, penekanan Xiaohongshu pada gaya hidup dan rekomendasi konsumsi membuat sebagian pengguna salah paham tentang peran mereka di platform. Banyak influencer menganggap diri sebagai “influencer gaya hidup”, dan terus mengaitkan “selera” ini dengan barter komersial. Bagi mereka, punya pengaruh tidak sama dengan memberi timbal balik nyata pada pelaku usaha, sebaliknya, pelaku usaha dianggap “sumber daya yang bisa dimanfaatkan”, dan jumlah pengikut influencer menjadi alat tawar mereka.

Budaya ini berdampak mendalam pada generasi muda Taiwan. Banyak konsumen dan pelaku usaha kesulitan membedakan apa itu pertukaran nilai sesungguhnya, dan bahkan bisa terjerumus dalam penipuan online shop yang didesain dengan cermat. Sistem “berbagi” dan “rekomendasi” yang diagungkan Xiaohongshu terkadang dimanfaatkan menjadi “saluran sumber daya gratis”, mentalitas keliru ini memperparah “mentalitas membandingkan diri”, dan membuat nilai diri influencer di dunia maya menjadi terlalu berlebihan hingga tidak bisa membedakan realitas.

Larangan Xiaohongshu di Taiwan dan Refleksi Sosial

Dalam konteks ini, Taiwan memutuskan melarang Xiaohongshu. Meskipun sebagian orang menafsirkan larangan ini terkait alasan politik dan utamanya untuk mencegah penipuan online, tak bisa diabaikan bahwa budaya “kejatuhan kecantikan” yang makin marak di platform ini memang jadi masalah sosial utama. Xiaohongshu menjadi lahan subur bagi budaya “kejatuhan kecantikan”, mendorong influencer untuk secara bebas mempromosikan perilaku konsumtif yang tidak bertanggung jawab di platform, menyesatkan pandangan anak muda tentang dunia nyata. Fenomena ini, terlepas dari kaitannya dengan politik atau penipuan, secara tak kasat mata merusak etika sosial dan membuat semakin banyak orang memiliki pandangan dan nilai hidup yang keliru.

Larangan Taiwan tak seharusnya hanya dipandang sebagai sanksi terhadap Xiaohongshu, lebih dalam lagi, harus mendorong kita untuk meninjau kembali peran platform media sosial saat ini, terutama dalam membentuk nilai, mendorong pola konsumsi, dan memengaruhi generasi muda. Dalam proses ini, perlu penelitian lebih mendalam tentang pengaruh media sosial dan dampak sosial jangka panjang pada anak muda.

Walau Xiaohongshu dan platform media sosial lain berperan penting dalam mendorong konsumsi dan pemasaran brand di kalangan muda, mereka juga mempercepat penyebaran budaya “kejatuhan kecantikan”. Banyak influencer dan selebgram melihat platform sebagai jalur “sumber daya gratis”, menuntut promo atau barang gratis pada pelaku usaha demi eksposur di media sosial. Perilaku ini tidak hanya tidak bermoral, tapi juga memutarbalikkan pemahaman generasi muda tentang “pertukaran nilai”. Larangan otoritas Taiwan, baik karena alasan politik, pencegahan penipuan, maupun refleksi budaya, merupakan peringatan bagi budaya influencer sekarang, mengingatkan influencer dan selebgram agar bertanggung jawab secara sosial di media sosial, bukan sekadar mengejar eksposur dan trafik.

Yang lebih patut diperhatikan, budaya “kejatuhan kecantikan” ini sudah memengaruhi pola hidup dan nilai sebagian anak muda Taiwan. Penulis sering melihat anak muda berpakaian rapi namun memakai sandal, memakai rol rambut, dan santai seperti baru bangun tidur saat jalan-jalan, makan, bahkan di Starbucks, MRT, mal, dan toko buku di Taipei. Pemandangan ini membuat kita bertanya-tanya: mengapa Taiwan begitu tidak sadar akan penetrasi “gaya hidup estetika Tiongkok” ini? Ketika dunia waspada pada dampak media sosial terhadap kehidupan dan kesehatan mental anak muda, mengapa masih ada yang menganggap ini tak penting di Taiwan?

Kasus “makan gratis” Zhong Peiyun misalnya, influencer Taiwan yang ditangkap karena berkali-kali makan gratis di restoran mewah New York, perkembangannya menimbulkan pertanyaan soal kesehatan mentalnya, sampai hakim meminta evaluasi kejiwaan. Kasus ini mengundang pertanyaan: apakah Taiwan benar-benar peduli pada kesehatan mental anak muda? Apa peran media sosial di dalamnya? Dan bagaimana Taiwan bisa menawarkan solusi yang lebih efektif?

Saat ini, anak muda menghadapi dunia maya penuh godaan, di mana banyak nilai dan gaya hidupnya sangat jauh dari realitas. Budaya “kejatuhan kecantikan” yang dipromosikan platform seperti Xiaohongshu merupakan konsentrasi nilai palsu tersebut. Anak muda diarahkan mengejar citra dan gaya hidup sempurna di permukaan, tapi mengabaikan kerja keras, tanggung jawab, dan kejujuran di dunia nyata. Ini bukan hanya membentuk standar hidup tidak realistis, tapi juga bisa berdampak negatif jangka panjang terhadap kesehatan mental dan pola perilaku sosial generasi muda.

Larangan Taiwan mungkin merupakan respons yang perlu, namun juga menimbulkan pertanyaan lebih mendalam: bagaimana di era digital ini, anak muda bisa memahami perbedaan dunia nyata dan dunia maya? Bagaimana membantu mereka membentuk nilai dan konsep yang benar, justru menjadi isu inti yang harus lebih diperhatikan. Dalam proses ini, masyarakat, pemerintah, institusi pendidikan, dan media seharusnya bersama-sama memberikan panduan yang benar bagi anak muda, agar mereka tetap sehat jasmani dan rohani di dunia internet yang penuh godaan.

Artikel ini membahas fenomena “kejatuhan kecantikan” Xiaohongshu dari kasus influencer Taiwan yang berkali-kali makan gratis di New York hingga akhirnya ditahan, dan pertama kali muncul di Chain News ABMedia.

Lihat Asli
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
  • Hadiah
  • Komentar
  • Posting ulang
  • Bagikan
Komentar
0/400
Tidak ada komentar
  • Sematkan
Perdagangkan Kripto Di Mana Saja Kapan Saja
qrCode
Pindai untuk mengunduh aplikasi Gate
Komunitas
Bahasa Indonesia
  • 简体中文
  • English
  • Tiếng Việt
  • 繁體中文
  • Español
  • Русский
  • Français (Afrique)
  • Português (Portugal)
  • Bahasa Indonesia
  • 日本語
  • بالعربية
  • Українська
  • Português (Brasil)